Diskusi Kepo Journal kali ini membahas 4 artikel terkait topik pandemi dan pengungsi.
Paper 1
Kluge, Hans Henri P, Zsuzsanna Jakab, Jozef Bartovic, Veronika D’Anna, and Santino Severoni. 2020. “Refugee and Migrant Health in the COVID-19 Response.” The Lancet 395 (10232): 1237–39. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30791-1.
Paper ini menyoroti bahwa langkah-langkah kesehatan dasar di masa pandemi (jaga jarak, isolasi, dll), sulit dilakukan di kamp pengungsi. Jangankan yang di camp, yang di community housing seperti di Indonesia saja sulit untuk misalnya mengakses informasi maupun layanan umum.
Paper 2
Khatib, L. 2020. “COVID-19 Impact on Refugees Is Also Political”
Mirip dengan paper sebelumnya, paper ini menyebut bahwa akses terhadap layanan kesehatan menjadi lebih sulit lagi di masa pandemi. Di Beirut menjadi lebih berat lagi dengan situasi keamanan yang tidak normal. Ketika tes tersedia pun, belum tentu bisa dilakukan karena kondisi keamanan. Layanan kesehatan masih sangat sulit untuk pengungsi di negara semacam ini.
Paper 3
Vijayasingham, Lavanya, Emma Rhule, Nima Asgari-Jirhandeh, and Pascale Allotey. 2019. “Restrictive Migration Policies in Low-Income and Middle-Income Countries.” The Lancet Global Health 7 (7): e843–44. https://doi.org/10.1016/S2214-109X(19)30196-2.
Di negara berkembang, ada Global Compact for Migration tapi semua bergantung pada negosiasi dan situasi politik di tiap negara. Contohnya, di Malaysia, pengungsi bisa mengakses layanan umum dengan tarif subsidi. Sementara tarif layanan swasta masih belum terjangkau. Situasi di Thailand lebih baik, dengan 90% pekerja migran dari Myanmar sudah terdaftar, meskipun hanya 4% migran dari Laos yang terdaftar. Migrasi di Thailand sudah berlangsung turun temurun, jadi sebetulnya tidak bisa dibilang migran. Dengan demikian, migran (atau pengungsi) dari Myanmar/Laos di Thailand ini kasus khusus, tidak bisa dibandingkan dengan migran dari Afganistan ato negara lain yang baru datang.
Refleksi bahwa dalam kenyataannya, untuk pengungsi di negara non-konvensi, tanggung jawab berarti berada pada organisasi internasional yang mengurusi mereka saja. Padahal sebenarnya, yang mengikat tanggung jawab itu untuk pemerintah nasional dan lokal bukanlah konvensi pengungsi, tapi konvensi hak asasi manusia. Jadi bagaimana isu pengungsi bisa dinegosiasikan? Mengingat semua negara pasti mengedepankan kepentingan national interest. Dengan resettlement ditunda karena pandemi, maka solusi ‘termudah’ adalah deportasi, walau dengan risiko persekusi. Lalu dimana sebenarnya posisi institusi global? Mengingat mereka tidak bisa memaksakan apa yang menurut mereka penting karena mereka sangat tergantung pada negara-negara anggota secara finansial.
Tanggapan (1): Indonesia tampaknya lebih menganut asas kemanusiaan dibanding konvensi pengungsi. Apakah pengungsi masuk ke dalam sistem kesehatan nasional, selama ini sulit karena ketergantungan dana pada organisasi internasional. Akses layanan kesehatan dibuka (yang juga mencakup penerjemah, pekerja sosial, dan lainnya), dengan dana subsidi oleh PBB. Namun ada pemerintah yang mulai melibatkan organisasi lain walaupun masih berupa advokasi, dengan menempatkan pengungsi sebagai bagian dari kelompok rentan. Secara umum di Indonesia, pengungsi yang mendapat bantuan dana dari PBB/IOM masih lebih baik kondisinya dibanding pengungsi mandiri. Tapi di Malaysia misalnya, pemerintah membuka akses sehingga pengungsi bisa dapat layanan penuh.
Tanggapan (2): Seharusnya penanganan pandemi di komunitas pengungsi masih tetap menjadi tanggung jawal pemerintah, sebab virus tidak diskriminatif. Bila ada pengungsi terinfeksi, maka akan menjadi resiko juga untuk warga kota lainnya.
Paper 4
McCarthy, A. 2019. “England and Australia Are Failing in Their Commitments to Refugee Health”
NHS (UK) atau jaminan kesehatan universal dan semacamnya berfokus pada warga negara, tidak menjamin perlindungan kepada non warga negara. Di UK, pengungsi dan pencari suaka hanya bisa mengakses layanan kesehatan bila ada rekomendasi dari dokter, namun lingkungan yang kurang ramah terhadap migran tanpa dokumentasi membuat mereka mundur. Di Australia juga demikian meskipun sudah menjamin layanan kesehatan untuk migran akan sesuai dengan untuk umum. Artinya, negara maju yang sistem layanan kesehatannya sudah diakui dunia pun belum bisa memberi layanan yang baik ke migran tanpa dokumentasi.
Paper ini mendorong agar pengungsi dan pencari suaka seharusnya masuk dalam sistem kesehatan nasional, baik di negara maju maupun berkembang, tanpa memberikan konsekuensi finansial atau legal (akses ke layanan kesehatan seharusnya tidak mengharuskan mereka lapor diri, karena artinya menyerahkan mereka pada sistem legal). Ini mungkin adalah sesuatu yang tidak mungkin karena bertabrakan dengan banyak kepentingan. Sementara persoalan ini adalah sangat politis bagi suatu negara. Jadi, apa yang bisa dilakukan?
Tanggapan: Saran di paper ini sangat ideal, tapi prakteknya sangat sulit. Yang lebih mungkin terjadi adalah akan lebih banyak penolakan terhadap pengungsi atas nama penanganan pandemi.
Krisis Covid-19 membuka banyak persoalan terkait pengungsi dan pencari suaka dalam hal perpotongan antara layanan kesehatan dengan kemanusiaan, keamanan dan kepentingan negara. Krisis global semacam ini membenturkan kita dengan kepentingan nasional dalam memandang isu pengungsi/migrasi paksa.
Komentar lain
Terkait pandemi, sekarang dunia masih dalam situasi darurat. Dan mengingat bahwa pandemi global terakhir adalah 100-an tahun lalu, perencanaan apapun dalam beberapa dekade terakhir ini tidak ada yang mengantisipasi krisis akibat pandemi global (tidak ada pembelajaran dari pengalaman sebelumnya yang terlacak dalam perencanaan untuk pengungsi). Refleksi bahwa perencanaan kamp pengungsi dalam skala besar perlu memperhitungkan bila krisis kesehatan seperti ini terjadi lagi. Misalnya dari sisi keruangan, perlu dipikirkan layout isolasi untuk sekelompok orang.
Tanggapan (1): dalam sebuah webinar lain, ada informasi bahwa pengalaman dari dua pandemi di masa lalu termasuk pandemi flu Spanyol tidak tercatat dalam sejarah nasional Indonesia, sehingga terlupakan. Tidak ada catatan tentang jumlah tepat jutaan korban yang meninggal serta penanganannya, namun ada catatan tersimpan pada komunitas etnis (ditemukan bahwa ada lontar yang mencatat sejarah ini). Hal ini menunjukkan bahwa sejarah wabah adalah sejarah kekalahan, sementara sejarah yang tertulis adalah sejarah pihak yang menang. Meskipun pendiri Indonesia adalah dokter dan insinyur, ketika wabah melanda, banyak orang Indonesia yang tidak diselamatkan (Note: pandemi flu Spanyol adalah di tahun 1918, ketika Indonesia masih berupa Hindia Belanda).
Tanggapan (2): Masalah Pandemi untuk seluruh sektor masih baru, baik dari sisi resiko pengurangan bencana (DRR), perencanaan kota, dll, karena kita tidak belajar dari sejarah, sama halnya dengan tsunami, gempa, dll. Pembelajaran tidak dicatat dengan baik dan tidak dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Sehingga generasi baru tidak paham resikonya dan bagaimana terjemahannya ke dalam DRR, perencanaan kota, perencanaan kebencanaan, arsitektur dan standar bangunan, dsb. Sehingga seperti belajar dari nol lagi.
Leading sector untuk pandemi di gugus tugas Covid-19 adalah kementerian kesehatan yang mungkin kurang pengalaman dalam menangani pandemi, dan BNPB yang juga belum pernah menangani bencana non alam. Apalagi bila ditambah 1 lapisan isu berupa pengungsi yang belum dianggap sebagai urusan negara. Webinar tentang pandemi dalam konteks dan desain kota masih sedikit, dan para pakar pun masih pada bingung tentang peran mereka dalam pandemi ini. Tapi contoh menarik misalnya adalah belajar dari struktur kota di beberapa negara ditemukan bahwa untuk bencana kesehatan seperti skarang, di mana rumah sakit bisa kelebihan kapasitas, keberadaan ruang terbuka hijau atau ruang publik penting untuk menjadi kapasitas tambahan. Lalu dalam kondisi darurat banyak orang bekerja dari rumah dan semua sekolah tutup. Pemerintah bisa mengeksplorasi pemanfaatan ruang sekolah atau lainnya yang tidak terpakai sebagai daerah karantina.
Tanggapan: IOM sedang melakukan advokasi di Makassar untuk misalnya menggunakan fasilitas umum untuk karantina dsb, namun masih berupa dialog. Pemerintah pun belum bisa menggratiskan layanan rapid test untuk warga, apalagi untuk pengungsi, sehingga bila dibutuhkan maka perlu didanai oleh IOM. Dalam situasi krisis yang membutuhkan keputusan cepat, akhirnya masing-masing organisasi mengambil keputusan yang dirasa perlu.
Hal penting di Indonesia itu adalah bahwa ada ruang kosong yang digunakan untuk lockdown (penutupan daerah) lokal ini. Pemerintah kita masih mencoba meningkatkan coping dalam menangani covid19 ini. Terkait pengungi misalnya, di Tanjung Pinang ada arahan baru yang dibuat oleh imigrasi untuk pengungsi terkait jaga jarak, cuci tangan dll, namun tidak ada protokol tentang apa yang terjadi bila ada yang terinfeksi. Tidak ada proteksi kesehatan dan akses ke puskemas juga sangat bergantung pada IOM. Ada juga pertanyaan tentang apakah ada kekhawatiran dari IOM bahwa pendanaan tidak akan cukup untuk menghadapi pandemi.
Tanggapan: di tingkat paling mikro, saat ini banyak desa menerapkan lockdown sendiri. Dalam hal ini, garda perlindungan terdepan sebenarnya berada di tingkat masyarakat, sehingga keberhasilan menghadapi pandemi akan sangat tergantung pada pemimpin masyarakat itu sendiri.
Apakah saat ini ada skenario kesiapsiagaan bencana dalam kamp pengungsi?
Ada skema, standar, rencana respon resiko bencana, dll, di badan internasional, namun karena standar internasional, aplikasinya akan tergantung pada pemerintah daerah. Contohnya, kamp pengungsi domestik (IDP) di Palu yang dibangun oleh lembaga seperti WFP, IOM, UNHCR, dst punya rencana semacam itu, namun penerapannya kembali lagi kepada pemerintah. Kesiapsiagaan terhadap bencana masih sangat kurang terutama di negara berkembang. Namun untuk bencana seperti pandemi, tidak terlalu jelas.
Bagaimana koordinasi IOM dengan pemerintah dalam hal perlindungan kesehatan di masa pandemi ini, apakah melalui pemerintah daerah atau pusat?
Tetap melalui gugus tugas di masing-masing daerah, yang melibatkan dinas terkait. Di Makassar, untuk kesehatan adalah melalui Dinas Kesehatan, namun jalur advokasi juga melalui gubernur dan walikota, dinkes. Terkait pandemi, suster dari IOM juga turun langsung ke akomodasi untuk melakukan pemeriksaan, screening, etc, melalui kerja sama yang baik dengan Dinkes.
Terkait komitmen GCM dan GCR, apakah ada dampak yang terasa di lapangan atau masih berproses?
Belum terasa di lapangan, apalagi karena ada keterbatasan dalam menerjemahkan komitmen ini di negara non-konvensi. IOM/UNHCR terus melakukan advokasi ke pemerintah negara untuk menerjemahkan GCM dan GCR. Salah satu bentuk dampak tidak langsung dari GCR adalah penempatan pengungsi yang tidak lagi berada di Rumah Detensi Imigrasi.
Umumnya, apakah kebijakan yang sudah ada selalu ditinjau ulang secara reguler atau perlu ada kejadian kejadian dulu baru ditinjau ulang?
Covid-19 dianggap sebagai Kejadian Luar Biasa dalam terminologi kesehatan. Biasanya dalam organisasi internasional ada panduan dasar, yang akan ditinjau bila ada KLB seperti pandemi saat ini. Panduan yang standar ada di organisasi internasional adalah panduan untuk respon bencana berdasarkan jumlah orang yang terdampak bencana tersebut dan tingkat keparahan bencana. Namun terlepas dari bencana atau bukan, tiap organisasi punya dokumen internal seperti Business Continuity Planning. Semua organisasi itu akan merujuk pada BCP untuk menilai bagaimana suatu ‘business’ (organisasi, project) dapat tetap berjalan di suatu kondisi khusus. Ada juga Contingency Planning, yang fokusnya lebih eksternal.
Untuk organisasi internasional urusan pengungsi, panduan penanganan Covid-19 di COVID dibuat setelah kejadian melalui kolaborasi antara IOM, iFRC, dan sebagainya.
Dalam konvensi 1951, kesehatan tidak menjadi satu pasal tersendiri tapi menjadi bagian dari social security
<end>
コメント