top of page
  • rdiuref

Kepo Jurnal 2020 #3


Diskusi Kepo Journal kali ini membahas tiga artikel bertema Integrasi Sosial untuk Pengungsi

Paper 1

Dubus, N. 2018. “Integration or Building Resilience: What Should the Goal Be in Refugee Resettlement?Journal of Immigrant & Refugee Studies 16 (4): 413–29. https://doi.org/10.1080/15562948.2017.1358409.

Paper ini membahas tentang sebuah studi kualitatif di empat negara yakni Amerika Serikat, Swiss, Jerman, dan Islandia, terhadap 110 partisipan yang berprofesi sebagai agensi/administrator dan penyedia layanan social untuk para pengungsi, dengan tujuan untuk mencari tahu pendapat mereka tentang apa sebenarnya kebutuhan dari para pengungsi yang sedang dalam masa menunggu resettlement. Apa yang sebaiknya menjadi goals dalam masa resettlement para pengungsi?

Dalam sesi paper 1, peserta diskusi memberikan pendapat yang diawali dengan menyebutkan kutipan dari para partisipan yang dirasa menarik. Kutipan tersebut diantaranya:

‘Participants who responded in ways consistent with seeing the goal of resettlement as “lessening the transition burden” perceived their role as a bridge between the world of their past and the one they are in.

‘Other workers described evidence of resilience as when they feel the locus of control in them’

‘Why would it? It’s not my job to tell someone how they should live their lives or what it means to live here. My job is to meet the person where they are at, and help them reach their goals.’

‘I think integration is about integrating within one’s self’

‘I think the best way is to force them to learn the language’

Beberapa kutipan tersebut menunjukkan bahwa perspektif para partisipan (para administrator dan penyedia layanan sosial untuk pengungsi) beragam terkait apa yang dibutuhkan oleh pengungsi selama masa transit atau dalam persiapan untuk resettlement.

Dalam diskusi beberapa pandangan yang muncul diantaranya:

Partisipan berperan dalam menjembatani antara kehidupan masa lalu para pengungsi dengan kehidupan mereka di masa sekarang. Masa lalu dari para pengungsi yang menyakitkan ditambah dengan kesulitan beradaptasi di masa sekarang menempatkan mereka sebagai pihak yang sangat membutuhkan asistensi dan support sosial yang memadai untuk bisa bertahan di masa transisi.


Para pengungsi juga memiliki psikologis yang kompleks, terbentuk oleh karena kehilangan perlindungan dari negara asal akibat perang, konflik, dan sebagainya. Di satu sisi, kompleksitas tersebut menjadi modal bagi mereka agar bisa memperoleh kesempatan untuk resettlement di negara ketiga. Untuk itu, tujuan resettlement seharusnya bagaimana partisipan membantu mereka membangun resiliensi dan memperkuat/memampukan mereka untuk menghadapi dan mengelola segala beban dan kesusahan di masa transit ataupun di negara ketiga nanti.

Hal tersebut sejalan dengan pandangan bahwa partisipan sebaiknya berperan sebagai pihak yang tugasnya mengarahkan dan memfasilitasi para pengungsi. Alih-alih mengharuskan mereka untuk menguasai bahasa negara transit atau memperoleh pekerjaan, partisipan sebaiknya berkomunikasi dengan para pengungsi, bertanya kepada mereka terkait skills apa saja yang ingin mereka pelajari dan kuasai sehingga nantinya di negara ketiga mereka tidak kesusahan untuk beradaptasi kembali. Peran partisipan dalam memberikan support social yang tepat guna bagi para pengungsi dapat menumbuhkan kemandirian mereka.

Terkait pendapat partisipan yang mengharuskan pengungsi untuk bisa menguasai bahasa negara tersebut bisa dikaji lewat sebuah narasi bahwa bahasa adalah sebuah prasyarat untuk asimilasi kebudayaan yang dominan di negara baru. Kemampuan berbahasa dalam konteks ini tidak terbatas pada seberapa fasihnya mereka, namun juga bagaimana mereka bisa memahami frasa lokal/setempat. Sebagai contoh para pengungsi yang ada di Makassar lebih bisa berasimilasi dengan kebudayaan setempat karena mereka telah memahami frasa lokal dan aksen daerah tersebut.


Paper 2

Mahieu, R., and Van Caudenberg, R. 2020. “Young Refugees and Locals Living under the Same Roof: Intercultural Communal Living as a Catalyst for Refugees’ Integration in European Urban Communities?Comparative Migration Studies 8 (1): 12. https://doi.org/10.1186/s40878-019-0168-9.

Paper ini membahas tentang sebuah riset di Antwerp, Belgia terhadap suatu program communal living yang ditawarkan kepada para pengungsi muda berusia 17-20 tahun yang sendirian di Antwerp dan para pemuda lokal berusia 20-23 tahun. Mereka diberikan tempat tinggal di community housing dengan bentuk yang beragam. Riset difokuskan pada eksplorasi terhadap motivasi dan manfaat dari mengikuti program ini.

Pertanyaan yang menuntun diskusi paper 2 adalah apakah konsep ini cocok untuk diterapkan di negara transit seperti Indonesia? Jika cocok, bentuk akomodasinya kira-kira seperti apa dan pemuda lokal/buddy-nya seperti apa, dan apa saja yang harus disiapkan?

Dalam diskusi ditemukan bahwa mayoritas pandangan merasa pesimis bahwa program communal living ini bisa diterapkan di Indonesia dikarenakan beberapa faktor diantaranya:

  • Isu pengungsi yang belum menjadi prioritas pemerintah dan posisi Indonesia sebagai negara transit, bukan negara destinasi

  • Mispersepsi dari masyarakat lokal terhadap pengungsi

Beberapa pandangan lainnya melihat program ini memungkinkan untuk bisa diterapkan di Indonesia dengan syarat:

  • Harus ada komitmen nyata dan dukungan dari pemerintah dalam bentuk menyediakan kebijakan yang memungkinkan program ini bisa diterapkan di Indonesia

  • Harus ada komunikasi dan kerjasama antar pemerintah, akademisi dan praktisi yang fokus pada isu pengungsi di perkotaan.

Dari dua klaster pandangan di atas, ada beberapa catatan penting terkait program communal living, yaitu: mengapa program ini bisa sukses di Belgia dan belum tentu sukses di Indonesia, kritik terhadap program ini, serta hal-hal apa yang bisa dipelajari dari program ini yang memungkinkan untuk di implementasi di Indonesia termasuk juga apa yang perlu diperhatikan dan dikawal jika program ini diterapkan di Indonesia.

Belgia vs Indonesia

Program communal living bisa berjalan di Belgia karena sejarah Belgia yang merupakan cultural hub/melting pot dari beberapa negara di Eropa. Belgia berpengalaman dalam manajemen multikultural sehingga mereka telah memiliki pondasi yang kuat untuk menginisiasi program ini. Pemerintah Belgia sendiri mengintegrasikan program ini kedalam salah satu kebijakan manajemen migrasi mereka, tak heran program ini sangat komprehensif, ditambah dengan buddy yang sudah dilatih terlebih dahulu.

Di Eropa sendiri, konsep co-housing bertujuan untuk menjalin interaksi antar masyarakat, dan mereka berhasil mencapai tujuan itu. Dalam konteks Indonesia, untuk mencapai tujuan yang sama belum bisa menggunakan konsep tersebut karena Indonesia tidak mengenal konsep co-housing. Walaupun demikian, dari segi tipologi housing, rumah-rumah di Indonesia berpotensi untuk membuat interaksi informal lebih besar prospeknya dibandingkan dengan tipologi akomodasi di negara maju.

Terkait melting pot, Indonesia sendiri adalah negara yang multikultural dan memiliki beberapa melting pot namun belum didesain secara khusus untuk menjadi alternatif pengapilkasian program semacam ini. Pemerintah juga belum terekspos dengan contoh seperti ini ditambah minimnya kerjasama antara pemerintah, peneliti dan pembuat kebijakan menyebabkan orang-orang yang terjun di lapangan (Contoh: Aceh dan Makassar) kebingungan untuk mencari solusi yang tepat.

Di Makassar sendiri ada program serupa yang merupakan holistic program (tersedianya akomodasi, buddy, dukungan profesional dan servis konseling). Program ini tersedia sampai pengungsi berusia 18 tahun, khusus untuk biaya hidup mereka diarahkan untuk mencari dana sendiri. Program ini berhasil mencapai tujuan integrasi sosial lewat pembelajaran bahasa (bahasa Inggris dan bahasa lokal), pertukaran kebudayaan secara informal (lewat kuliner dan aktivitas bersama).

Kritik

Buddy untuk program ini dinilai tidak equal atau artifisial karena mereka sudah diberikan pelatihan untuk bisa menemani para pengungsi. Hal ini akan berpengaruh juga pada model interaksi buddy yang cenderung dibuat-buat atau tidak natural. Selain itu, ada ketakutan bahwa proses integrasi sosial tidak akan berjalan bagus/beresiko untuk merugikan kedua belah pihak. Pengungsi memiliki mental dan emosi yang lebih rentan, maka ada tendensi untuk buddy dan juga pengungsi memiliki beban tersendiri dalam mengikuti program ini.

Yang bisa dipelajari/diadopsi dari program ini?

  • Program ini dilihat mampu menangkal prasangka terhadap pengungsi karena ada komunikasi dua arah yang intens antara pengugnsi dan buddy. Hal positif ini bisa diadopsi di Indonesia dalam skala yang lebih kecil untuk mengatasi masalah stereotyping yang marak terjadi, bisa dalam bentuk aktivitas yang edukatif di lingkup komunitas.

  • Program ini bisa menjadi salah satu strategi yang bisa diadopsi pemerintah apabila di kemudian hari para pengungsi di Indonesia sudah bisa memperoleh akses pendidikan yang sama dengan penduduk lokal. Bisa dalam bentuk asrama pelajar yang menampung baik pelajar lokal maupun pengungsi yang usianya sebaya dan sama-sama tidak ada keluarga yang menemani, namun tetap ada pembimbingnya. Tipologi asrama pelajar bisa 1 unit menampung 6-8 orang yang dilengkapi dengan ruang komunal di setiap unit. Khusus untuk buddy, pemberian beasiswa sebagai stimulus untuk konsisten dalam mengikuti program ini.

  • Indonesia dapat mencapai tujuan yang sama dengan program ini dengan mengadaptasi ruang-ruang komunal publik yang sudah ada sebagai tempat berinteraksinya orang lokal dan pengungsi (Contoh: Masjid).

Yang perlu diperhatikan dalam penerapan/adopsi program communal living?

  • Payung hukum dan kebijakan dari pemerintah serta kepastian pendanaan sebelum menginisasi program semacam ini karena di Indonesia sendiri dana pengelolaan pengungsi masih dibebankan kepada IOM dan organisasi terkait lainnya yang fokus pada isu pengungsi. Pemerintah bisa melakukan pendekatan kepada instansi pendidikan untuk menjalankan program ini (Cth: asrama pelajar)

  • Penyeragaman kebijakan di dalam pemerintah terkait penerimaan masyarakat terhadap pengungsi karena penerimaan masyarakat di Makassar dan Jakarta kepada pengungsi berbeda.

  • Pemilihan lingkungan dan lokasi yang dapat mengakomodasi dan mendorong pengungsi berinteraksi dengan masyarakat sekitar

  • Dalam prosedur perekrutan, perlu dipastikan bahwa baik dari buddy dan pengungsi tidak akan ada pengaruh radikal yang berfokus pada agama/kepercayaan tertentu, kalaupun ada pengelompokkan berbasis agama, hal itu tidak akan dijadikan kompromisasi bagi kepercayaan radikal (menghindari munculnya ancaman baru)

  • Sebelum mendesain akomodasi penting untuk mempelajari demografi dari para pengungsi dan kondisi sosial dari masyarakat sekitar agar konsep communal living bisa diterima/cocok bagi kedua belah pihak.

  • Perlu diperhatikan apa saja common value yang dimiliki oleh pengungsi dan masyarakat lokal (benang merah) sehingga bisa tercipta communal living yang damai

Paper 3

Strang, A.B., and Quinn, N. 2019. “Integration or Isolation? Refugees’ Social Connections and Wellbeing.Journal of Refugee Studies, June. https://doi.org/10.1093/jrs/fez040.

Studi pengungsi dan kaitannya dengan kajian tentang resettlement pada umumnya lebih menekankan pada interaksi internal komunitas pengungsi (bonding) dan interaksi pengungsi dengan budaya masyarakat host country (bridging). Pembahasan bahwa proses ‘Bonding' dan ‘Bridging’ adalah proses yang terpisah dalam konteks resettlement dianggap tidak membantu pada prakteknya.

Dalam artikel ini dibahas sebuah eksperimen lewat Focus Group Discussion kepada single men refugees yang ada di Glasgow. Eksperimen tersebut difokuskan pada framework trust building, tidak hanya pada proses ‘bonding’ dan ‘bridging’. Trust building itu sendiri mengacu pada bagaimana pengungsi berinteraksi dengan komunitas mereka. Eksperimen bertujuan untuk memetakan koneksi sosial atau mencari tahu network apa saja yang dimanfaatkan para pengungsi selama proses pemenuhan kebutuhan mereka. Eksperimen ini menunjukkan bahwa para pengungsi masih mengandalkan jaringan komunitas mereka di masa-masa awal mereka berada di tempat baru.


Dalam konteks trust-building framework, para pengungsi yang memiliki kebutuhan psikologis yang berbeda mengidentifikasi komunitas mana yang dapat mereka percaya dalam proses resettlement. Untuk mencapai proses trust-building, perlu dimulai dari enhancing resilience within one’s self. Para pengungsi harus sudah bisa berdamai dengan diri sendiri sebelum mereka bersosialisasi dengan sesama pengungsi dan komunitas setempat.


Proses trust-building juga berpengaruh dalam ide communal living di negara transit atau resettlement. Apakah program communal living akan menjadi proyek yang subtitutif atau komplementer terhadap refugees housing yang sudah ada? Melihat psikologis proses trust-building itu sendiri, akan lebih mudah jika pengungsi memulainya dari komunitas pengungsi. Selanjutnya dapat dilihat apakah ide communal living bisa dikembangkan sebagai proyek yang komplementer dan tidak substitutif terhadap refugees housing.


Cover Image: Photo by Clay Banks on Unsplash

63 views0 comments

Recent Posts

See All

Kepo Jurnal (2020) #5

Diskusi Kepo Journal edisi kali ini membahas dua artikel tentang pengalaman adaptasi dan integrasi sosial dari pengungsi di negara baru. Paper 1 Korac, Maja (2003). “Integration and How We Facilitate

Kepo Jurnal (2020) #4

Diskusi Kepo Journal kali ini membahas artikel klasik oleh Hannah Arendt berjudul “We Refugees”. Dalam artikel ini, Arendt membahas tentang pengungsi dari sudut pandang personal (ia adalah seorang pen

Kepo Jurnal (2020) #2

Diskusi Kepo Journal kali ini membahas 4 artikel terkait topik pandemi dan pengungsi. Paper 1 Kluge, Hans Henri P, Zsuzsanna Jakab, Jozef Bartovic, Veronika D’Anna, and Santino Severoni. 2020. “Refuge

Post: Blog2 Post
bottom of page