Diskusi Kepo Journal kali ini membahas artikel klasik oleh Hannah Arendt berjudul “We Refugees”. Dalam artikel ini, Arendt membahas tentang pengungsi dari sudut pandang personal (ia adalah seorang pengungsi saat esai ini ditulis), dalam upaya untuk mendorong refleksi filosofis terhadap apa arti menjadi seorang pengungsi, yang kehilangan negara dan identitasnya.
Pertanyaan diskusi: Apa impresi Anda setelah membaca esai ini?
1. Artikel ini berbicara tentang identitas kolektif, dengan patriotism adalah identitas di skala tertinggi. Dari tulisan ini, kita belajar dengan merefleksikan tentang identitas di suatu tempat tertentu; bahwa identitas tidak selamanya sama. Ada orang-orang yang optimis bisa masuk ke identitas baru, tapi di saat yang sama, hal ini bisa membawa ke dilema: optimisme bisa menjadi tantangan ketika mereka harus melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan identitas mereka sebelumnya, seperti kasus seorang dengan gelar doctor yang diangkat dalam artikel ini. Lalu, suicide atau bunuh diri sebagai pernyataan perlawanan, yaitu melakukan suatu tindakan yang berkebalikan dengan yang diharapkan oleh si ‘penjajah’), menunjukkan bahwa ada kualitas kemanusiaan yang perlu dipikirkan ulang. Pada titik mana seorang manusia adalah resilient? Artikel ini membantu melihat pengungsi dan identitas dalam kacamata berbeda: bahwa pengungsi tidak semata-mata bisa berubah ato melepas identitasnya, misalnya identitas sebagai seorang Hazara or Rohingya, tapi bahwa identitas adalah sumber resiliensi, sumber energi untuk bisa bertahan.
2. Artikel ini membuat kita berpikir bahwa banyak pembahasan tentang pengungsi, sebagai sebuah permasalahan yang sudah lama ada, masih tetap yang relevan dengan situasi saat ini meskipun konteks dunia dan konflik jauh berbeda dibanding misalnya konteks saat tulisan ini dibuat (Perang Dunia II). Tulisan ini seolah adalah sebuah seruan dari Arendt kepada mereka yg terpaksa menjadi pengungsi di saat itu untuk menjadi manusia yang lebih resilien. Justru ketika masa menjadi sulit, pengungsi sebagai individu maupun komunitas harus bisa menyuarakan identitasnya agar dapat melewati keadaan sulit tersebut. Identitas bersifat cair. Ketika identitas yang dipegang kukuh itu hilang, maka ke mana harus berpegang, mencari sumber kekuatan untuk bertahan hidup, ketika bahkan berpaling kepada Tuhan tidak dapat menjadi solusi. Apakah bunuh diri menjadi jalan keluar? Di sisi lain, dari sudut pandang masyarakat penerima pengungsi (host communities), apa yang dapat mereka sediakan kepada para pengungsi untuk dapat bertahan atau menjadi resilien. Apakah ada elemen resiliensi yang bisa disediakan oleh pihak luar kepada seseorang? Misalnya dalam konteks Indonesia sebagai host community, sistem seperti apa yang bisa kita bentuk untuk dapat membantu membangun ketahanan hidup para pengungsi?
3. Artikel ini mengingatkan pada museum Anne Frank di Amsterdam. Anne menekankan alienasi. Dia berada di rumah sendiri tapi tidak bisa mengakses sekolah, dipisahkan dari teman-temannya, diberi label bahwa dia adalah Yahudi. Anne Frank sebagai citizen di Amsterdam merasa sangat terasing di negara sendiri. Kembali ke artikel Arendt, juga ada bagian yang berbicara tentang alienasi di negara baru dengan status pengungsi. Mereka berkonflik dengan diri sendiri, mempertanyakan identitas sendiri: apakah identitas sebagai Yahudi harus dipertahankan? Dan pada saat itulah mereka berada pada mode survival. Tulisan ini menggambarkan bahwa dimana pun pengungsi berada, mereka akan tetap merasa terasing. Apapun upaya mereka, mereka akan tetap terperangkap dalam krisis identitas. Mereka tetap pengungsi, orang pun melihat mereka tetap sebagai pengungsi. Dalam studi di Indonesia, ada penemuan bahwa orang yang mengalami kondisi pengungsi akan terus mengalami ‘sesuatu’. Seperti orang yang berada dalam kendaraan umum, “saya sedang menuju ke… ”. Ada proses yang terus menerus berjalan secara internal dengan tujuan yang belum jelas. Ikatan dan ingatan tidak akan terlupakan/serta merta hilang, eg. kampung, negara asal, perjalanan. Ada pembicaraan terkait kamp konsentrasi di Auschwitz dimana ada beberapa yg bertahan hidup namun saat keluar dari kamp, mereka melakukan bunuh diri. Mengapa? Sebab ingatan-ingatan tersebut akan memburu mereka. Pesan Arendt sangat kuat, bagi pengungsi, ada status yang ‘menggantung’ baik identitas, memori, cerita hidup, sejarah, dan seterusnya.
4. Secara umum, cara Arendt menulis dalam essay ini menarik. Arendt menggambarkan kondisi yang sulit sekali namun tetap bermuatan optimism dan tidak menutup-nutupi kenyataan. Apakah bunuh diri adalah upaya resiliensi atau resistensi, ia adalah upaya untuk mempertahankan keyakinan. Terkait optimis, jadi timbul pertanyaan tentang identitas dan citra pribadi ke umum. Apakah ada efek citra diri di depan umum yang diciptakan oleh pengungsi di Indonesia? Berdasarkan informasi saat studi, dalam beberapa kasus, terasa bahwa mereka ingin menekankan citra positif, ingin sehat fisik dan mental, namun di saat tertentu mereka ingin terlihat rentan, sebab kerentanan akan membantu mempermudah pengurusan status. Jadi terkait dengan citra diri ini, yang terasa bertentangan dengan yang disebut Arrendt, bagaimana sebenarnya dalam konteks transit seperti di Indonesia?
Tanggapan (1): Resettlement (penempatan di negara ketiga) adalah sepenuhnya kewenangan negara tujuan, tapi pengungsi sering merasa resettlement adalah hak. Apakah kerentanan membantu proses resettlement sepertinya perlu dikaji lebih dalam, namun berdasarkan pengamatan, mereka yang cepat mendapatkan resettlement adalah mereka yang aktif di komunitasnya.
Tanggapan (2): Ada sebuah artikel yang menarik tentang studi kasus di Turki yang berbicara tentang pengembangan indikator resettlement yang menyentuh aspek kerentanan seperti anak tanpa pendamping (unaccompanied minors), anak, perempuan.
5. Terkait dengan kondisi migrasi lain di Indonesia, yaitu tenaga kerja yang datang dari Cina untuk bekerja di Pontianak. Dulunya mereka dianggap sebagai pendatang, namun sekarang sudah dianggap sebagai warga lokal/asli. Jadi, bagaimana arti identitas dalam kasus seperti ini? Bila diamati kondisi psikologis dari para pengungsi, tingkat stres mereka melebihi tingkat stres pada orang lain. Selain itu, banyak yang melalui jalur illegal yang tidak memudahkan mereka untuk langsung menuju negara tujuan, seperti beberapa yang datang ke Kupang adalah sebenarnya sudah membayar agen untuk sampai ke Australia, namun kenyataannya hanya sampai di Indonesia, sehingga mereka memilih membayar nelayan untuk membawa mereka ke Australia.
6. Artikel ini menangkap bahwa warga negara yang ada di negara tujuan sering skeptis terhadap pengungsi, terkait loyalitas dan kontribusi pengungsi nantinya jika mereka ditempatkan di negara itu. Salah satu pekerjaan rumah bagi negara tujuan adalah selain memberikan pelatihan bahasa, cara memenuhi kebutuhan hidup dan adaptasi di lingkungan baru bagi pengungsi, perlu juga ada edukasi bagi warga negara sendiri, sebagai upaya menghapus stigma negatif warga asli terhadap refugees. Di artikel ini menyebutkan tentang patriotism, sering ada keraguan terkait loyalitas dan kemampuan pengungsi. Apalagi bila dikaitkan dengan identitas fisik yang tidak bisa disembunyikan. Sehingga mungkin salah satu upaya yang bisa diusahakan para pengungsi adalah untuk membuktikan bahwa mereka juga bisa setia dan mampu berkontribusi di negara tujuan.
Tanggapan: terkait dengan sejarah datang dan tinggalnya penduduk Cina di Indonesia, pada suatu saat banyak yang akhirnya diterima untuk menjadi tentara Indonesia. Sehingga kalau bicara tentang patriotisme, Indonesia menjadi bagian dari identitas mereka. Sepertinya di negara lain, misalnya Amerika, juga banyak keturunan (dari dulunya pengungsi) akhirnya menjadi bagian dari tentara, yang berarti patriotisme terhadap negara tujuan ini akan terbentuk juga nantinya.
Bagaimana dengan Anda? Apa impresi Anda setelah membaca esai ini?
コメント