top of page
rdiuref

Kepo Jurnal (2020) #5

Updated: Sep 27, 2020


Diskusi Kepo Journal edisi kali ini membahas dua artikel tentang pengalaman adaptasi dan integrasi sosial dari pengungsi di negara baru.

Paper 1

Korac, Maja (2003). “Integration and How We Facilitate It: A Comparative Study of the Settlement Experiences of Refugees in Italy and the Netherlands.” Sage Publications. 37(1): 51-68. https://www.jstor.org/stable/42856493

Paper ini membahas tentang pengalaman integrasi sosial pengungsi dari Yugoslavia yang sudah ditempatkan di dua negara resettlement berbeda, yakni di Italia dan Belanda. Untuk mengetahui dinamika pengalaman kehidupan pengungsi di dua negara ini, penulis melakukan studi komparasi dengan melakukan wawancara kepada total 60 pengungsi Yugoslavia yang tersebar di Italia dan Belanda.

  • Studi Kasus di Italia yang mirip dengan situasi di Indonesia

Dalam artikel ini, kondisi Italia mirip dengan Indonesia, kedua negara tergolong sebagai negara transit dan bukan negara tujuan sehingga integrasi tidak menjadi opsi bagi para pengungsi. Proses integrasi yang tidak kaku atau tidak melulu top down di Italia memungkinkan adanya modal sosial yang membuat masyarakat setempat dan para pengungsi bisa bersosialisasi dengan leluasa. Keadaan ini mirip dengan kondisi di Indonesia, adanya jaringan sosial yang kuat antara pengungsi dan masyarakat setempat memungkinkan kedua kelompok ini hidup berdampingan dan saling memfasilitasi. Hal ini bisa menjadi modal dasar dalam pengelolaan dan pemahaman tentang pengungsi di Indonesia.


Selain itu, kondisi di Italia memungkinkan pengungsi untuk memiliki agency dalam memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari secara mandiri. Absennya kerangka pengelolaan pengungsi yang komprehensif di sana membuat mereka ‘terpaksa’ berbaur lewat pekerjaan dan aktivitas sehari-hari dan untungnya disambut dengan baik oleh masyarakat setempat yang welcome dengan pendatang atau pengungsi. Situasi ini mirip juga dengan apa yang dialami oleh pengungsi mandiri di Indonesia, namun yang membedakan adalah pengungsi di Indonesia tidak diizinkan untuk bekerja juga tidak ada kebijakan pemerintah yang menyatakan tidak boleh berbaur, sehingga interaksi dan integrasi yang tercipta lebih kepada aktivitas sosial mereka.

  • Sistem manajemen pengungsi di Belanda terorganisir dengan baik dan terinstitusionalisasi namun minim integrasi sosial antara masyarakat setempat dan pengungsi.

Dalam studi kasus di Belanda ditemukan bahwa mayoritas pengungsi yang diwawancara merasa mereka kesusahan untuk diterima oleh masyarakat lokal. Kebijakan pemerintah yang sangat top-down, terorganisir dengan baik dikarenakan Belanda sebagai negara maju menganut paham bahwa dengan mengatur kedatangan dan proses membaurkan masyarakat lokal dan pengungsi akan serta-merta menyatukan dua kelompok yang berbeda ini. Namun, sistem mereka malah menghalangi terbentuknya koneksi bermakna antara kedua kelompok tersebut. Hal ini disebabkan karena proses settlement membutuhkan waktu bertahun-tahun dan sudah tersegmentasi secara kaku, dan selama proses ini tidak ada bantuan khusus yang mampu mempermudah integrasi mereka, seperti pelatihan bahasa. Meskipun situasi Belanda sangat top-down, sebenarnya interaksi atau integrasi sosial dapat dicapai jika ada keterbukaan dan penerimaan dari masyarakat lokal. Jadi, mekanisme kebijakan Belanda yang kaku sebenarnya bukan satu-satunya penyebab minimnya integrasi sosial di sana.

Selanjutnya, kemungkinan besar Belanda menerapkan kebijakan yang sangat struktural, terinstitusionalisasi, dan kaku ini adalah untuk memastikan bahwa pengungsi benar-benar sudah siap untuk menetap secara permanen. Pemberian status kewarganegaraan juga dilihat sebagai alat untuk pemerintah dapat mengontrol pengungsi (menjadikan mereka sebagai objek kebijakan), sehingga terlihat jelas kekuatan yang dimiliki pemerintah dalam mendesain proses integrasi. Penulis paper sebenarnya mau menekankan bahwa dalam mendesain proses integrasi, ada beberapa aspek penting yang harus dipertimbangkan, yakni karakteristik dari kelompok pengungsi, kebutuhan khusus mereka untuk bisa berintegrasi dan hal-hal apa yang butuh dijembatani, sehingga kebijakan dan mekanisme yang didesain oleh pemerintah lebih tepat, ada kelenturan dan mampu memfasilitasi pengungsi untuk beradaptasi dengan leluasa.

Tanggapan terkait pembelajaran tentang paper ini adalah penekanan terhadap ukuran inklusi sosial atau kohesi sosial yang tidak general atau universal. Dalam meneliti proses integrasi sosial suatu komunitas atau kota sebaiknya dimulai dari skala kecil dan harus melihat konteks dari kelompok yang diteliti dan juga lokasi, harus sensitif terhadap umur, gender dan karakter masing-masing komunitas agar hasil penelitian bisa mendalam. Selanjutnya, dalam mendesain proses integrasi sosial sebaiknya masyarakat umum diberikan kesempatan untuk intervensi: rasanya tidak adil jika masyarakat lokal tidak diberikan kesempatan untuk memberikan ide dalam skema atau kebijakan pemerintah. Dengan adanya intervensi dari mereka, proses penerimaan terhadap pengungsi mungkin bisa lebih baik, juga dalam meredam rasisme akibat adanya kesenjangan perlakuan antara pengungsi dan masyarakat setempat.

Terkait kelemahan penelitian: penulis beberapa kali membahas admission system (setara dengan sistem admisi rudenim formal atau informal di Indonesia), yang mana tidak semua pengungsi tinggal di model akomodasi yang sama, sehingga berujung pada hasil wawancara yang menunjukkan pengalaman integrasi yang berbeda. Lokasi tempat tinggal, lingkungan yang berbeda mempengaruhi sistem penerimaan dari komunitas tempat tinggal pengungsi, sehingga menimbulkan perasaan integrasi ataupun hasil integrasi yang berbeda juga. Contohnya pengungsi yang tinggal di flat, rusun atau apartemen akan memiliki pengalaman integrasi yang berbeda dengan mereka yang tinggal di kompleks perumahan atau landed house, berdampingan dengan masyarakat setempat. Kekurangan ini menyebabkan hasil studi dirasa kurang mendalam.

Kekurangan lain adalah pada kurangnya gambaran atau latar belakang tentang kondisi Amsterdam dan Roma yang merupakan kota yang hidup, ‘vibrant’, sehingga fokus penelitian tidak jelas apakah khusus menitikberatkan pengalaman pengungsi saja atau berfokus juga pada masalah berbaurnya pengungsi dengan komunitas lokal.

Paper 2

Carlson, Bonnie E., Cacciatore, Joanne and Klimek, Barbara. 2012. “A risk and resilience perspective on unaccompanied refugee minors.” Social Work 57 (3): 259-269. https://doi.org/10.1093/sw/sws003

Paper ini mengkaji tentang pengalaman unaccompanied refugee minors (URMs)/UAM yang beradaptasi di negara destinasi. Proses adaptasi mereka dipengaruhi oleh faktor resiko seperti kehilangan atau terpisah dengan keluarga, pengalaman traumatis, dan masalah kesehatan, serta faktor pelindung berupa pola pikir positif, rumah asuh yang menerima keberadaan mereka dengan baik, keterlibatan dalam organisasi sosial dan keagamaan.

  • Adanya sistem support dan role model yang berpengaruh pada faktor resiko dan pelindung pada anak-anak pengungsi/pengungsi muda di Indonesia

Berdasarkan pengalaman beberapa peserta diskusi, faktor resiko dan pelindung para pengungsi anak dan pengungsi muda di Indonesia dipengaruhi oleh sistem dukungan yang berbeda yang kemudian berimplikasi pada hasil yang berbeda. Faktor pelindung kebanyakan dipengaruhi oleh adanya komunitas dan orang-orang yang lebih tua (pengganti sosok keluarga), yang bisa menjadi role model untuk mereka. Role model ini sangat berpengaruh pada bagaimana anak pengungsi tanpa pendamping membawa diri mereka, bergaul dengan komunitas luar, sehingga ini juga bisa membangun resiliensi mereka.

Selanjutnya sosok role model yang lebih tua, dengan perbedaan usia yang jauh ternyata memberikan rasa percaya diri kepada mereka untuk lebih terbuka menceritakan masalah mereka. Sebaliknya, apabila role model lebih muda atau tidak lebih tua dapat berakibat pada kurangnya dampingan karena faktor kesiapan dan ketersediaan waktu, serta memungkinkan susahnya membangung kepercayaan.

Adanya role model juga bisa membantu pengungsi anak dan pengungsi muda dalam hal pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri . Sebagai contoh di konteks kelompok Hazara, mereka sering terinspirasi dari tokoh penting di negara atau komunitas mereka, contohnya politikus. Mereka berharap bisa menjadi role model bagi pengungsi lainnya, dengan melihat atau mengikuti perkembangan dari tokoh penting di berita internasional meskipun mereka sedang berada di negara lain. Informasi yang mereka peroleh memberikan gambaran dan menimbulkan rasa keterkaitan dengan dunia luar, dan dari sana ada aktualiasi diri untuk menjadi seseorang (role model) yang berguna bagi komunitas mereka. Di sisi lain, kehadiran role model ataupun menjadi role model sangat penting karena dapat menghidupkan harapan selama masa transit yang tidak pasti kapan akan berakhir. Jadi bisa dikatakan, role model memiliki andil besar dalam meningkatkan resiliensi para pengungsi anak dan pengungsi muda.

Selain itu, kehadiran layanan sosial yang rutin memonitor keadaan mereka memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang tinggal bersama dengan mereka. Jadi bisa dikatakan, berkurangnya faktor resiko dan meningkatnya/berkembangnya faktor pelindung tergantung pada lingkungan mereka yang punya role model atau support system yang baik atau tidak.

Di Indonesia juga ada UAMs/URMs yang punya kebutuhan khusus akibat PTSD, faktor resiko ini menjadi lebih buruk karena keterbatasan akses ke psikolog dan juga kendala bahasa , konflik dengan orang rumah. Di sisi lain, ada juga beberapa pengungsi yang tidak percaya dengan layanan sosial yang ada, sehingga mereka memilih menutup diri dan berakibat adanya sindrom tersendiri terhadap orang-orang atau kelompok tertentu. Mereka kemudian berkonsultasi dengan pekerja sosial lulusan psikologi yang berperan sebagai pendengar masalah mereka, berdampak pada sedikit teratasinya masalah dan sindrom dari pengungsi anak/muda. Bisa dikatakan bahwa perlakuan terhadap pengungsi anak/pengungsi muda tidak harus tergantung pada kehadiran psikolog namun juga kehadiran atau peran dari orang-orang sekitar yang mau mengobrol dengan mereka dan menjadi pendengar.

  • Refleksi terhadap penanganan pengungsi muda dan pengungsi anak tanpa pendamping di Indonesia (UAMs/URMs)

Paper ini memberikan pelajaran menarik tentang bagaimana kita bisa melihat kemungkinan adanya tantangan integrasi pengungsi selama di negara transit atau negara destinasi. Penting dipahami bahwa setiap pengungsi membawa faktor resiko akibat beragam latar belakang budaya, pengalaman traumatis yang mempengaruhi psikologis mereka serta cara pandang mereka terhadap lingkungan baru dan bagaimana mereka menghadapi tantangan di tempat baru sambil mengatasi trauma bawaan dari negara asal. Hal ini menjadi pelajaran bagi tata kelola pengungsi secara umum yang seringkali mengkerdilkan pengalaman traumatis pengungsi yang ternyata punya pengaruh besar dalam proses adaptasi mereka di lingkungan baru.

Di Indonesia sendiri sebagai negara transit, isu yang sering dikedepankan adalah tentang livelihood dan kebutuhan dasar, sehingga masih kurang mekanisme penanganan pengungsi yang memberi perhatian khusus pada psikologis pengungsi, padahal sudah banyak penelitian yang menemukan bahwa sebenarnya pengalaman di negara transit yang serba tidak pasti ini malah lebih menambah beban kepada pengungsi secara psikologis. Di Indonesia sudah ada beberapa kasus pengungsi yang memilih bunuh diri, hal ini menunjukkan bahwa faktor resiko mereka begitu kuat, terbawa-bawa sampai ke negara transit (atau bahkan jadi lebih parah) dan tidak tersedianya atau tidak memadainya faktor pelindung oleh komunitas setempat atau lewat mekanisme tata kelola pengungsi di negara kita.

Di sisi lain, resiliensi pengungsi anak dan pengungsi muda di Indonesia sangat berkaitan juga dengan aspek livelihood dan kebutuhan dasar, sehingga aspek ini harus dimasukkan dalam analisis faktor resiko. Latar belakang paper ini sedikit berbeda dengan kondisi pengungsi Indonesia pada umumnya, di mana keputusan pengungsi yang ada di Indonesia adalah karena adanya pengaruh dari komunitas atau keluarga mereka. Selanjutnya yang perlu diperhatikan juga adalah terkait kesiapan mereka untuk bermigrasi ke negara transit, dengan durasi tinggal yang tidak jelas berapa lama yang akan juga berpengaruh pada resiliensi mereka. Resiliensi pengungsi anak dan pengungsi muda juga bisa dipengaruhi dengan adanya penguatan sense of belonging di komunitas yang ada sebagai suatu faktor pelindung.


41 views0 comments

Recent Posts

See All

Kepo Jurnal (2020) #4

Diskusi Kepo Journal kali ini membahas artikel klasik oleh Hannah Arendt berjudul “We Refugees”. Dalam artikel ini, Arendt membahas...

Kepo Jurnal 2020 #3

Diskusi Kepo Journal kali ini membahas tiga artikel bertema Integrasi Sosial untuk Pengungsi Paper 1 Dubus, N. 2018. “Integration or...

Kepo Jurnal (2020) #2

Diskusi Kepo Journal kali ini membahas 4 artikel terkait topik pandemi dan pengungsi. Paper 1 Kluge, Hans Henri P, Zsuzsanna Jakab, Jozef...

Kommentare


Post: Blog2 Post
bottom of page